Halaman

Senin, 03 Desember 2012

Antisipasi kelangkaan kedelai

Menteri Perdagangan Gita Wirjawan berencana menemui tiga pihak yang terkait dalam penggunaan dan produksi tanaman kedelai di Indonesia.

"Dalam waktu dekat saya akan bertemu dengan para pedagang kedelai atau tempe, kemudian akan bertemu petani kedelai dalam negeri dan tentunya juga para ahli peneliti pertanian," kata Gita seusai rapat terbatas di Kementerian Perindustrian di Jakarta, Jumat.

Menurut Gita, pihaknya akan menemui pedagang kedelai dan perajin produk kedelai untuk membahas persediaan bahan baku di dalam negeri, baik yang berasal dari impor maupun dari dalam negeri.

Dia mengaku, jika persediaan kedelai tidak mencukupi maka Kemendag akan memberikan kesempatan kepada sejumlah asosiasi, koperasi dan pihak terkait produk turunan kedelai untuk melakukan importasi bahan baku secara mandiri.

Kemudian pertemuan dengan petani kedelai, menurut Mendag, berguna untuk mendorong produksi kedelai lokal disaat harga melambung tinggi.

"Pertemuan dengan petani adalah untuk berupaya bagaimana disaat harga lagi tinggi dan merupakan momen yang bagus bagi mereka dalam meningkatkan produksi dan produktivitas kedelai," tambah Gita.

Selain itu, pertemuan dengan peneliti bidang tanaman dan pertanian, menurut Menteri berguna untuk mencari teknologi yang bisa diaplikasikan demi kepentingan petani meningkatkan produksi kedelai.

Sementara itu, Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono menjelaskan penyebab naiknya harga kedelai berasal dari kondisi di negara pengimpor Amerika Serikat yang mengalami anomali cuaca.

Presiden mengatakan sejumlah negara pengimpor kedelai selain Indonesia juga mengalami penurunan pasokan dari luar negeri.

"Utamanya di AS yang mengalami kekeringan panjang dan menjadi kekeringan terburuk dalam 50 tahun, sehingga akhirnya memukul produksi dan beberapa negara yang mengimpor kedelai juga ikut terpukul," kata Presiden.

Guna membantu konsumen kedelai untuk mendapat harga yang sedikit lebih murah, Presiden mengatakan pemerintah telah membebaskan bea masuk impor kedelai dari sebelumnya 5 persen menjadi 0 persen.

Dia mengaku pemerintah tidak mungkin bisa mencegah kenaikan harga kedelai impor.

Presiden mengimbau jika pembebasan bea masuk telah diberlakukan maka diharapkan importir kedelai dan perajin produk turunannya dapat menyesuaikan harga secara sepadan dengan upaya tersebut.

Presiden menegaskan jika terdapat importir kedelai yang menyalahi aturan seperti menimbun kedelai untuk menaikan harga, pemerintah tidak akan segan memberikan sanksi hukum yang sesuai.

Indonesia memproduksi kedelai per tahunnya sekitar 800 ribu ton, sedangkan kebutuhan kedelai sebesar 2,5 juta ton per tahun sehingga Indonesia masih mengimpor sebesar 1,5 - 1,8 juta ton per tahun.

SBY bertekad sebagai upaya jangka panjang dalam mengendalikan harga kedelai, pemerintah akan meningkatkan produksi dalam negeri lebih besar lagi.

Dulunya Tempe Tak Terbuat dari Kedelai






Tempe selalu identik dengan kedelai. Padahal, ternyata dulunya tempe tidaklah seperti kita kenal sekarang, terbuat dari kacang kedelai. Dulu, tempe dibuat dari satu jenis kacang khas Indonesia, yang dikenal dengan nama kara, atau koro dalam bahasa Jawa. Di tengah krisis kedelai yang mengancam produksi  tempe nasional, timbul wacana untuk mengembalikan tempe kepada asal muasal bahan bakunya tersebut.
Wacana tersebut disampaikan oleh Prof Dr Achmad Subagio MAgr, seorang pakar pertanian dari Universitas Jember. Menurutnya, sudah saatnya Indonesia kembali mengonsumsi tempe kara seperti dulu, mengingat semakin meroketnya harga kedelai di pasaran.
Menurut Achmad, produktivitas kedelai di Indonesia tidak akan pernah bisa mencapai dua ton per hektare karena sejatinya kedelai adalah tanaman sub tropis. Karena itu, menurutnya tidak tepat jika pemerintah daerah mendorong petani untuk berbondong-bondong menanam kedelai untuk menghadapi tingginya harga kedelai di pasaran.“Tempe itu asli buatan Indonesia, tapi kedelai tidak. Kedelai itu bawaan dari China yang kemudian juga dibuat tahu. Dulunya, tempe itu dibuat dari kara,” jelasnya kepada ANTARA News di Jember, Jawa Timur, Senin.
“Di Amerika Serikat, tanaman kedelai itu subsidinya luar biasa, produktivitasnya juga sangat tinggi dan harganya di bawah kita karena subsidi itu. Produk kita pasti kalah bersaing, apalagi kemudian bea impornya nol,” katanya.
Mengembalikan tempe ke bahan baku asalnya, yaitu kara adalah solusi yang ditawarkan oleh lelaki lulusan perguruan tinggi di Jepang ini. Ia menjelaskan bahwa protein yang dikandung kara tidak jauh berbeda dengan kedelai. Kelebihan lainnya, pola tanam kara lebih murah karena hampir tidak memerlukan pemupukan dan pohonnya bisa tumbuh lagi setelah dibabat. Saat ini, ia bersama FTP Unej sedang melakukan percobaan pembuatan tempe kara untuk menyikapi kelangkaan kedelai di pasaran.
“Kara ini asli tanaman tropis dan bisa tumbuh di tanah marjinal. India sudah mengembangkan tanaman kara ini dan hasilnya bagus. Sementara untuk kedelai merupakan tanaman subtropis, sehingga di Indonesia produksinya tidak akan bisa maksimal,” kata penemu beras cerdas dari singkong ini.
Lelaki yang menjadi dosen di Fakultas Teknologi Pertanian Unej ini menjelaskan bahwa Indonesia memiliki ratusan jenis kara yang belum dikembangkan secara maksimal. Ia juga bercerita bahwa di era 1970-an dirinya masih merasakan tempe kara. Namun karena saat ini semua begitu terfokus pada tempe kedelai, tempe kara begitu juga tempe benguk pun terlupakan.
Permasalahan yang berkembang saat ini adalah kepopuleran kara yang kurang yang menyebabkan ketersediaan bahan baku ini menjadi sangat sedikit. Namun hal ini dapat menjadi sebuah lecutan bagi pemerintah dan masyarakat untuk menanam bahan pangan yang sesuai dengan iklim tropis.
“Kara ini memiliki banyak kelebihan dan kandungan karbohidratnya tinggi. Selain untuk tempe, banyak kegunaan kara ini, seperti untuk saus, kecap, penyedap rasa, susu, dan lainnya,” tandasnya.
Ia juga menghimbau pemerintah untuk melakukan diversifikasi pangan. Selama ini, pemerintah terlalu fokus pada satu varian, sehingga timbul masalah ketika terjadi kelangkaan pada varian yang bersangkutan.
sumber: Tika/Mizan.com

Kedelai Sumatera Utara

Produksi kedelai asal Sumatera Utara tahun ini diperkirakan semakin turun jauh di bawah angka 2011 atau hanya 5.923 ton.

Kepala Badan Pusat Statistik (BPS) Sumut, Suharno, di Medan, Sabtu mengatakan, pada angka ramalan (aram) II 2012, produksi kedelai Sumut masih 5.923 ton dari angka tetap (atap) 2011 yang sudah 11.426 ton.

"Jumlah produksi kedelai di aram II 2012 yang sebesar 5.923 ton itu juga jauh di bawah realisasi atau atap 2010 yang sudah 9,.439 ton,"katanya.

Berdasarkan data, kata dia, produksi kedelai yang turun di aram II 2012 itu akibat luas areal yang juga jauh di bawah atap 2011.

Luas areal panen kedelai Sumut di aram II hanya 5.814 hektare dari atap 2011 yang sudah seluas 11.413 hektare.

Kepala Sub Dinas Bina Program Dinas Pertanian Sumut, Lusyantini, mengakui, produksi kedelai di daerah itu masih rendah. Hingga September produksi masih 9.736 ton.

Pemerintah terus berupaya meningkatkan areal dan produktivitas kedelai agar produksi kedelai itu terus naik.

"Tujuannnya agar ketergantungan impor bisa ditekan dan petani mendapat pendapatan lain," katanya.

Menurut dia, penurunan luas panen, membuat produksi anjlok, walau-pun secara produktivitas, tanaman kedelai petani tersebut menunjukkan peningkatan dibandingkan tahun lalu.

Produktivitas kedelai petani Sumut tahun ini sebesar 10,36 kuintal per hektare dari 2011 yang sebesar 10,01 kuintal per hektare.

Dengan penurunan produksi, kata dia, tidak heran kalau volume impor kedelai Sumut naik terus.

Perajin tempe, Budisudarno menyebutkan, memang sangat tergantung pada kedelai impor.

"Bukan karena produksi lokal tidak mencukupi tetapi karena kualitasnya juga lebih baik," katanya.

Dia menyebutkan, harga kacang kedelai impor itu sendiri masih bertahan tinggi atau masih Rp7.200 per kg.

"Harga kedelai memang sudah turun dari harga sebelumnya bertahan Rp7.400-Rp7.500 per kg, tetapi tetap saja belum kembali normal sekitar Rp5.500 -Rp6.000 per kg," katanya.

Karena belum kembali normal dan masih berflluktuasi, pedagang tempe juga masih tetap melakukan kebijakan pengurangan pembelian kedelai yakni hanya untuk stok 3-4 hari dari sebelumnya yang rata-rata untuk 10 hari.

Pedagang juga masih mempertahankan ukuran tempe yang dibuat dan diperdagangkan dengan lebih kecil mengingat harga jual tidak bisa dinaikkan dari harga yang sekitar Rp1.600-Rp1.800 per potong.
sumber : Antara

Minggu, 02 Desember 2012

Kebutuhan Kedelai 2012



Kebutuhan kedelai nasional tahun 2012 sebanyak 2,4 juta ton. Angka tersebut tercukupi dengan 70 persen impor (1,25 juta) dan sisanya produksi dalam negeri sebanyak 779.800 ton kedelai. Kendati demikian, kualitas kedelai impor tidak sama dengan lokal. Keduanya punya keunggulan dan kelemahan masing-masing.
Berikut perbedaan dari kedua kedelai tersebut berdasarkan pemaparan persentasi Direktur Aneka Kacang-Kacangan dan Umbi-Umbian Kementerian Pertanian, Maman Suparman pada diskusi di gedung Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), Jakarta, pada Selasa ( 7/8/2012 ) lalu.
Kedelai lokal unggul dari impor dalam hal bahan baku pembuatan tahu. Rasa tahu lebih lezat, rendemennya pun lebih tingi, dan resiko terhadap kesehatan cukup rendah karena bukan benih transgenik. Sementara kedelai impor sebaliknya.
Sekalipun unggul sebagai bahan baku tahu, kedelai lokal punya kelemahan untuk bahan baku tempe. Penyebabnya, ukuran kecil atau tidak seragam dan kurang bersih, kulit ari kacang sulit terkelupas saat proses pencucian kedelai, proses peragiannya pun lebih lama. Lalu setelah berbentuk tempe, proses pengukusan lebih lama empuknya. Bahkan bisa kurang empuk.
Dalam hal budidaya kedelai baik lokal maupun impor punya kelebihan masing-masing. Kedelai lokal memeliki umur tanaman lebih singkat 2,5 - 3 bulan daripada impor yang mencapai 5 - 6 bulan. Benihnya pun lebih alami dan non-transgenik.
Akan tapi dalam hal produktivitas dan luas lahan, kedelai impor lebih tinggi. Bila varietes lokal umumnya masih berproduksi di bawah 2 ton per hektare, maka impor bisa mencapai 3 ton per hektarenya. Biji impor pun umumnya lebih besar.
Lemahnya produktivitas kedelai lokal tersebut tidak didukung oleh industri perbenihan yang kuat, mekanisasi usaha tani berskala besar serta efisien, dan juga lahan khusus kedelai yang luas.
Sementara itu pada kesempatan yang sama, peneliti pemulia kedelai dari Badan Tenaga Nuklir Nasional (Batan), Harry Is Mulyana menilai, kandungan gizi kedelai lokal memang lebih unggul ketimbang impor.
"Selain transgenik, bahkan yang saya dengar kedelai yang masuk di Indonesia hanya ampas kedelainya saja sementara sari patinya (gizi) sudah menghilang. Entah diambil saat di negara asalnya atau memudar karena lamanya proses pengiriman kedelai," ungkapnya.
Sekedar informasi, impor terbesar kedelai indonesia masih berasal dari Amerika Serikat sebanyak 1,8 juta ton, lalu dikuti Malaysia 120.074 ton, Argentina 73.037 ton, Uruguay 16.824 ton, dan Brazil 13.550 ton.
Sementara itu, kebutuhan kedelai 2012 sebanyak 2,4 juta ton bakal didistribusi ke perajin tahu tempe sebanyak 83,7 persen (1,8 juta ton), Kecap dan Tauco 14,7 persen ( 325.220 ton), perbenihan 1,2 persen (25.843 ton), dan pakan 0,4 persen (8.319 ton).

sumber : KOMPAS.com